Minggu, 28 Februari 2010

Dasar Pemikiran


Kemiskinan masih merupakan isu sentral di Indonesia. Meskipun kemiskinan pernah menurun tajam pada kurun waktu 1976-1996, yaitu dari 40,1% menjadi 11,3% dari total penduduk Indonesia, orang miskin meningkat kembali pada periode 1996-1999. Akibat krisis multidimensi yang menerpa Indonesia, jumlah penduduk miskin pada periode 1996-1998, meningkat tajam dari 22,5 juta jiwa (11,3%) menjadi 49,5 juta jiwa (24,2%) atau bertambah sebanyak 27,0 juta jiwa (BPS, 1999). Pada akhir 1999, International Labour Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin mencapai 129,6 juta jiwa atau sekitar 66,3% dari keseluruhan penduduk Indonesia.
Dalam upaya mengatasi kemiskinan, diperlukan sebuah kajian yang lengkap sebagai acuan perancangan kebijakan dan program antikemiskinan. Sayangnya, hampir semua pendekatan dalam mengkaji kemiskinan masih berporos pada paradigma modernisasi (modernization paradigm) yang dimotori oleh Bank Dunia. Paradigma ini bersandar pada teori-teori pertumbuhan ekonomi neoklasik (orthodox neoclassical economics) dan model yang berpusat pada produksi (production-centred model).
Kedua perspektif tersebut masih belum menjangkau variabel-variabel yang menunjukkan dinamika kemiskinan. Metodenya masih berpijak pada outcome indicators. Sehingga, kurang memerhatikan aspek aktor atau pelaku kemiskinan serta sebab-sebab yang memengaruhinya. Si miskin dilihat hanya sebagai 'korban pasif' dan objek penelitian. Bukan sebagai 'manusia' (human being) yang memiliki 'sesuatu' yang dapat digunakannya baik dalam mengidentifikasi kondisi kehidupannya maupun usaha-usaha perbaikan yang dilakukan mereka sendiri.
Kelemahan pendekatan di atas menuntut perubahan pada fokus pengkajian kemiskinan, khususnya menyangkut kerangka konseptual dan metodologi pengukuran kemiskinan. Paradigma baru tidak lagi melihat orang miskin sebagai orang yang serba tidak memiliki. Melainkan orang yang memiliki potensi (sekecil apa pun potensi itu), yang dapat digunakan dalam mengatasi kemiskinannya.
Paradigma baru menekankan pada 'apa yang dimiliki orang miskin' ketimbang 'apa yang tidak dimiliki orang miskin'. Potensi orang miskin tersebut bisa berbentuk aset personal dan sosial, serta berbagai strategi penanganan masalah (coping strategies) yang telah dijalankannya secara lokal.
Paradigma baru studi kemiskinan sedikitnya mengusulkan empat poin yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kemiskinan sebaiknya dilihat tidak hanya dari karakteristik si miskin secara statis. Melainkan dilihat secara dinamis yang menyangkut usaha dan kemampuan si miskin dalam merespons kemiskinannya. Kedua, indikator untuk mengukur kemiskinan sebaiknya tidak tunggal, melainkan indikator komposit dengan unit analisis keluarga atau rumah tangga. Ketiga, konsep kemampuan sosial (social capabilities) dipandang lebih lengkap daripada konsep pendapatan (income) dalam memotret kondisi sekaligus dinamika kemiskinan. Keempat, pengukuran kemampuan sosial keluarga miskin dapat difokuskan pada beberapa key indicators yang mencakup kemampuan keluarga miskin dalam memperoleh mata pencarian (livelihood capabilities), memenuhi kebutuhan dasar (basic needs fulfillment), mengelola aset (asset management), menjangkau sumber-sumber (access to resources), berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan (access to social capital), serta kemampuan dalam menghadapi guncangan dan tekanan (cope with shocks and stresses).
Perencanaan Jangka Menengah Program Penanggulangan Kemiskinan (PJM Pronangkis) adalah salah satu program yang dibuat oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dengan melibatkan partisipasi dari semua lapisan masyarakat dalam satu desa/kelurahan. Sehingga apa yang menjadi kebutuhan masyarakat dapat tersalurkan dengan tepat dan proporsional, karena tidak ada yang dapat memahami permasalahan yang ada di masyarakat selain anggota masyarakat itu sendiri, maka dengan adanya Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat diharapkan dapat merespon, menanggulangi dan mengentaskan problematika yang ada di masyarakat, baik itu bersifat infrastruktur, ekonomi maupun sosial.
Tidak terkecuali di Kelurahan Puspanegara, dalam hal ini badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Puspamandiri bersama dengan segenap komponen masyarakat Puspanegara mencoba untuk dapat memahami kondisi masyarakat Puspanegara untuk selanjutnya akan dilakukan langkah-langkah strategis untuk menemukan permasalahan yang berkembang di masyarakat Kelurahan Puspanegara. Walaupun kondisi masyarakat satu sama berbeda akan tetapi semuanya bermuara pada satu titik persoalan terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat.
Persoalan kemiskinan merupakan persoalan kompleka yang secara langsung ataupun tidak langsung telah menghasilkan implikasi yang beragam dalam kehidupan di masyarakat. Terutama bagi masyarakat Puspanegara yang notabenenya termasuk wilayah perkotaan, maka kemungkinan besar persoalan yang dihadapi akan semakin kompleks pula dibandingkan apa yang ada di daerah pedesaan, inilah yang menjadi tugas BKM sebagai agen perubahan masyarakat harus mampu membaca kondisi riil masyarakat untuk selanjutnya dapat memahami dan memberdayakan segala potensi yang ada untuk dapat memajukan dan memberdayakan masyarakat Puspanegara itu sendiri. Semua indikasi yang terjadi ini merupakan kondisi yang terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Dengan beragam sifat dan tantangan yang ada tersebut diatas, maka penanganan persoalan kemiskinan harus menyentuh akar permasalahannya. Atas dasar itulah masyarakat Kelurahan Puspanegara mencoba menyusun Dokumen PJM Pronangkis dimana masyarakat mulai jadi pelaku utama kegiatan mulai dari tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan,pengawasan dan evaluasi dengan harapan dapat menghasilkan berbagai kebutuhan riil berdasarkan potensi yang ada di masyarakat Kelurahan Puspanegara.

0 komentar:

Posting Komentar